Di post kali ini, aku ingin share tentang perjalanan aku ke Taiwan 2 bulan lalu bersama dengan keluarga dan teman-teman Papa. Setiap lebaran merupakan hal yang wajib bagi kami sekeluarga untuk jalan-jalan. Sebenarnya, aku dan adik-adik lebih tertarik untuk liburan ke negara-negara di Eropa daripada Asia, namun karena orang tua aku ingin sekali mengunjungi Taiwan maka kami putuskan untuk mengikuti keinginan orang tua.
Kebetulan juga saat itu aku akan segera menikah dengan Mat, maka liburan ini adalah liburan terakhir bersama dengan keluarga dimana aku masih belum berstatus menikah. Mungkin saja setelah ini belum tentu ada kesempatan aku dapat liburan dengan mereka lagi, karena itu walaupun aku tidak begitu tertarik ke Taiwan, aku tetap ikut dengan hati senang.
Pagi itu aku bangun di ranjang hotel yang empuk dan luas,
'Hmm, tentu saja, hotel ini hotel bintang lima..', gumamku sambil memikirkan kemungkin kali ini adalah terakhir kalinya aku dapat menikmati hotel bintang lima karena berpergian bersama Papa.
Dengan semangat aku bersiap-siap mandi, dandan dan juga makan pagi di restaurant hotel tersebut. Makan pagi ku diawali dengan segelas soy milk hangat dan semangkuk bubur dengan berbagai macam ikan yang di grill dengan baik, menu pagi di hotel bintang lima biasanya sangatlah beragam dan memiliki kualitas yang baik.
Ada hal yang sedikit janggal mengenai kualitas hotel bintang lima di Taiwan, sangat berbeda dengan hotel-hotel bintang lima di Jepang. Di Jepang, hotel bintang lima biasanya sangatlah spesial dan memiliki fasilitas terbaik, mungkin karena perbedaan negara maka ada perbedaan standart level kualitas pada hotel-hotel.
Hari itu kami berangkat ke Jiu Fen, jujur saja, aku sama sekali tidak tahu menahu mengenai tempat yang akan ku tuju. Dalam hati aku hanya pasrah dan menanti kejutan yang mendatangiku, bagaimanapun rupanya, aku ingin menikmatinya dengan gembira.
Jiu Fen adalah kota terpencil di daerah Taiwan yang dulu dijajah oleh Jepang karena sumber emasnya yang kaya. Kami berhenti di beberapa lokasi untuk melihat banyaknya bebatuan dan tanah yang warnanya sedikit berubah menjadi emas karena banyaknya sumber emas disana.
Tidak begitu tertarik, aku menantikan tempat selanjutnya yang akan kami kunjungi, yaitu Jiufen Old Street. Di sepanjang jalan kecil yang seperti gang ini terdapat banyak sekali toko-toko makanan dan souvenir. Aku membeli segelas hot almond milk yang rasanya luar biasa enaknya, kemudian aku share ke keluarga aku juga supaya mereka dapat merasakannya. Lalu aku dan Vina memutuskan untuk membeli 1 kaleng almond powder untuk dibawa pulang ke Indonesia.
Jika kamu suka sekali jajan atau wisata kuliner, kamu pasti senang sekali dengan tempat ini, banyak sekali makanan yang bisa kalian cicipi disini. Karena aku tidak begitu suka jajan, aku cepat sekali bosan. Semua toko rata-rata menjual makanan-makanan kering yang dapat dibawa pulang sebagai oleh-oleh dan jika kalian ingin mencoba, beberapa toko memberikan secara cuma-cuma.
Ada makanan khas yang mungkin perlu kalian bawa pulang untuk oleh-oleh yaitu pineapple cake; mirip dengan nastar, namun memiliki tekstur, bentuk dan wangi yang berbeda. Kalian bisa cicipi dulu testernya sebelum membeli, rata-rata mereka menawarkan pengunjung untuk mencoba terlebih dahulu.
Aku menghabiskan waktu dengan berjalan menelusuri gang-gang sempit dan mengambil beberapa foto di spot-spot yang menurut aku menarik. Udara di sini sejuk dan sangat nyaman untuk berjalan-jalan bersama teman-teman sambil makan-makan.
Karena Jiufen adalah bekas penjajahan Jepang, maka tidak heran banyak sekali bangunan-bangunan tradisional khas Jepang disini. Selain itu, aku berpapasan dengan banyak sekali turis-turis Jepang yang mengunjungi tempat ini untuk jalan-jalan.
Sebelum pindah ke lokasi berikutnya, aku membeli sebotol yogurt di Seven Eleven supaya aku mudah buang air besar selama liburan. Saat jalan-jalan biasanya aku tidak minum air terlalu banyak supaya tidak perlu sering ke toilet, kadang bahkan kami bisa berada di mobil dalam waktu yang cukup lama(3-4 jam) dan tidak ada toilet di sepanjang jalan. Hal itu sangat menyiksa.
Supir mengantar kami ke tempat selanjutnya, yaitu Ping Xi Old Street. Yang menarik dari tempat ini adalah adanya sebuah rel kereta api diantara pertokoan-pertokoan yang menjual makanan khas disana dan juga berbagai macam souvenir. Kereta api tersebut masih melintas di jam-jam tertentu dan para pengunjung yang berfoto-foto di rel kereta harus minggir agar kereta tersebut dapat lewat dengan aman.
Sebelum berjalan-jalan di sekitar tempat ini, kami makan siang dulu di sebuah restaurant yang sangat sepi. Saat melihat harga makanan di restaurant tersebut, aku tahu mengapa tempat ini sangat sepi. Harga makanan di restaurant ini cukup mahal dan jika ingin makan di sini mereka memiliki syarat yang harus diikuti, yaitu setiap orang yang masuk harus memesan at least 1 menu (makanan atau minuman).
Karena kami enggan berdesak-desakan di restaurant atau tempat makan lain yang terlalu ramai, dengan sedikit tidak rela kami masuk ke dalam restaurant ini untuk makan, beristirahat dan juga menumpang toilet.
Aku tidak begitu lapar, dan aku tidak ingin memesan makanan karena takut tidak habis, karena itu aku memesan seteko teh seduh dari bunga-bungaan yang sangat wangi dan memiliki rasa yang agak sedikit manis. Cukup memuaskan, namun aku harus membayar sekitar 90.000 untuk seteko teh ini (dan tidak boleh refill).
Sambil menunggu makanan tiba, aku berfoto-foto di dalam area restaurant dengan adikku. Di dalam restaurant ini, pemandangannya sangat indah dan menenangkan. Sayangnya hari itu hujan rintik-rintik sehingga semua meja dan kursi di luar menjadi basah dan tidak mungkin untuk diduduki.
Biasanya aku jarang sekali mengenakan celana, baik panjang maupun pendek. Bisa dikatakan bawahan yang aku miliki 90% rok, tapi kali ini aku ingin bergaya sedikit lebih casual dan tidak feminine.
Papa memesan semangkuk sup yang dinamai Hokkaido Soup dengan campuran daging dan berbagai macam bakso. Sup ini memiliki base dari susu sapi yang memiliki rasa dan wangi yang cukup unik.
Papa memaksa aku untuk makan sedikit karena ia tidak ingin aku masuk angin, aku mengambil banyak jamur dan sayuran di dalam sup tersebut lalu memberikan semua babi yang ada di dalam sup ke mangkuk papa karena aku tidak suka babi.
Vina dan Lucky (adik-adikku) memesan hot plate daging yang sangat besar dan banyak, tapi karena mereka sangat lapar, tidak sulit bagi mereka untuk menghabiskan semuanya.
Walaupun makanan di restaurant ini tergolong mahal namun porsinya cukup besar untuk dimakan sendiri. Selain itu suasana restaurant ini cocok sekali untuk orang introvert (aku dan semua adik-adikku introvert), jadi walaupun secara harga agak tinggi daripada tempat lain tapi secara suasana cukup menyenangkan.
Setelah membayar dan bergantian ke toilet, kami mulai melanjutkan perjalanan dengan kaki ke lokasi rel kereta api tempat orang-orang melepas lentera ke langit. Walaupun tidak sedang festival, banyak sekali orang-orang melepas lentera yang dituliskan berbagai macam doa dan ucapan untuk diterbangkan ke langit.
Papa bertanya kepada kami, apakah kami ingin membeli dan melepas lentera atau tidak. Ini adalah salah satu kegiatan yang wajib dilakukan para turis-turis yang datang ke Ping Xi dan moment ini biasanya diabadikan dengan foto.
Kami bertiga menolak karena kami merasa tidak ada gunanya membeli lentera, menuliskan kata-kata dan menyalakan api untuk menerbangkan lentera tersebut ke langit yang luas, yang setelah itu terbang di langit dan jatuh lalu mengotori semua atap rumah penduduk di sana, kemudian membunuh banyak burung-burung yang berterbangan di langit Ping Xi.
Papa pun mendukung keputusan kami yang tidak ingin menerbangkan lentera, kami tidak ingin mengotori dan menambah polusi disana. Bagi kami, jalan-jalan makna-nya bukan sekedar 'senang-senang' dan foto-foto dengan ikut-ikutan trend saja, namun sebenarnya banyak hal dapat kita pelajari dari tempat, sejarah maupun fakta yang ada di sana.
Semua kembali lagi ke pemahaman, persepsi dan keputusan masing-masing orang.
Banyak sekali lentera yang jatuh bersama dengan api yang masih menyala ke kerumunan orang-orang yang menerbangkan lentera di Ping Xi. Mereka semua berteriak dan menghindar karena tidak ingin tertimpa lentera yang terbakar. Para petugas yang berada di sekitar sana memadamkan api dengan sigap dengan ekspresi yang datar, seperti kejadian tersebut adalah pemandangan biasa yang ada setiap hari.
Selain berjualan makanan dan souvenir, para penduduk di sana menyambung hidup dengan berjualan lentera walaupun mereka tahu itu menyebabkan polusi dan mengotori alam. Terkadang kehidupan membuat manusia melakukan segala macam cara untuk bertahan hidup walaupun faktanya kurang baik bagi orang lain maupun kelestarian alam semesta.
Melihat langit biru yang indah penuh dengan lentera-lentera warna warni yang beterbangan, dan juga banyaknya burung-burung yang melintas, membuat aku memikirkan banyak hal dan sedikit melamun di saat itu.
Masih banyak beberapa lokasi yang dapat kami kunjungi seperti night market yang direkomendasikan banyak orang, namun kami harus mengikuti itinerary yang telah disusun oleh pihak tur dan menuju ke hotel untuk beristirahat.
Jiu Fen adalah kota yang tenang dan indah, setelah pergi dari kota tersebut, aku dan Vina baru mengetahui jika Jiu Fen ini adalah kota yang dijadikan setting untuk film animasi Ghibli - Spirited Away. Tidak heran jika banyak sekali toko-toko souvenir yang menjual boneka Kaonashi / No Face di sepanjang jalan pertokoan di Jiu Fen.
Mungkin seharusnya aku membeli 1 boneka untuk kenang-kenangan.
***